Tifa Tour Medan



Film Sebagai Praktik Sosial (Makalah Filmologi) Tifa Tour Medan

 


A.     
Pendahuluan

Film sebagai hasil karya manusia dalam proses
aktivitas berfikir telah mampu ikut berperan dalam merubah dan mempengaruhi
peradaban dunia hingga saat ini. Film tidak hanya
berfungsi sebagai media hiburan saja tapi lebih dari itu bisa sebagai media propaganda
dengan muatan pesan guna mempengaruhi khalayak penontonnya sebagaimana yang
dikehendaki oleh pembuatnya. Hal ini disadari dalam sebuah kajian tentang
keefektifan pesan yang disampaikan melalui media film.

Pada awal kemunculannya film dipahami sebagai
karya seni sebagai wujud kreatifitas manusia, tetapi dalam perkembangannya film
tidak lagi dimaknai sekedar hanya sebagai karya seni (film as art),
tetapi juga sebagai praktik sosial serta komunikasi massa. Baik perspektif
praktek sosial maupun komunikasi massa, sama-sama lebih melihat kompleksitas
aspek-aspek film sebagai medium komunikasi massa yang beroperasi di dalam
masyarakat.

Dalam perspektif praktek sosial film tidak
dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya. Tetapi melibatkan interaksi yang
komplek dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi. Bahkan lebih
luas lagi perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi
kebudayaan dimana film diproduksi dan dikonsumsi. Dalam perspektif komunikasi
massa film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi
filmis, yang memahami hakikat, fungsi dan efeknya.

Perspektif ini memerlukan pendekatan yang
terfokus pada film sebagai proses komunikasi. Dengan meletakkan film dalam
konteks sosial, politik dan budaya dimana proses komunikasi itu berlangsung
sama artinya dengan memahami pilihan penonton yang pada gilirannya menciptakan
citra penonton film. Akan lebih bisa ditangkap hakikat dari proses menonton dan
bagaimana film berperan sebagai sistem komunikasi simbolis.

Kemampuan film dalam menjangkau banyak segmen
sosial telah menyadarkan para ahli bahwa film memiliki potensi untuk
mempengaruhi khalayak. Sejak mulai merebak studi yang hendak melihat dampak
film terhadap masyarakat. Ini bisa dilihat dari sejumlah penelitian film yang
mengambil berbagai topik tentang pengaruh film terhadap anak, film dan
masyarakat, film dan politik dan seterusnya.

Karakteristik film sebagai media juga mampu
membentuk semacam konsensus publik secara visual (visual public concensus)
karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan
selera publik. Dengan kata lain film merangkum pluralitas nilai yang ada dalam
masyarakat. Dalam perspektif Marxian film sebagai institusi sosial dianggap
memiliki aspek ekonomis sekaligus ideologis. Film senantiasa berkisar pada
produksi representasi bagi masyarakat yang telah disiapkan untuk berharap
memperoleh kesenangan di dalam sistem yang menjamin berputarnya kapital.

B.    
Pembahasan

1.    
Pendekatan
Estetika Film

Film menjadi sebuah karya estetika dan juga sebagai alat informasi yang
bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda, juga alat politik. Ia juga dapat
menjadi sarana rekreasi dan edukasi, di sisi lain dapat pula berperan sebagai
penyebarluasan nilai-nilai budaya baru. Film bisa disebut sebagai sinema atau
gambar hidup yang mana diartikan sebagai karya seni, bentuk populer dari
hiburan, juga produksi industri atau barang bisnis. Film sebagai karya seni
lahir dari proses kreatifitas yang menuntut kebebasan berkreativitas.

Dalam pembuatan film tidak mudah dan tidak sesingkat yang kita tonton,
membutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang diperlukan proses pemikiran
dan proses teknik. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan, dan cerita
yang akan digarap. Proses teknik berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan
ide, gagasan menjadi sebuah film yang siap ditonton. Pencarian ide atau gagasan
ini dapat berasal dari mana saja, seperti, novel, cerpen, puisi, dongeng,
sejarah, cerita nyata, bahkan kritik sosial pada pemerintah.

Estetika sebagai pijakan pisau analisis sebuah karya seni (film), erat
kaitannya dengan unsur-unsur (estetika elementer) yang melekat pada karya
tersebut untuk menangkap maksud dan tujuan (nilai-nilai) yang terkandung di
dalamnya. Senada dengan pemikiran Herbert Zettl di atas, pemahaman mendasar
dari sifat-sifat estetika elementer sebuah medium film membawa pemahaman yang
lebih menyeluruh. Hal ini didasarkan bahwa media film merupakan karya seni yang
terwujud dari satuan kreativitas beberapa seniman yang terlibat dalam proses
pembuatannya (finished product). Hasil kreativitas ini nantinya memberikan
kontribusi keindahan, cita rasa, dan pengalaman estetis bagi penontonnya.

 Film sebagai karya seni dibangun
melalui unsur-unsur yang dipadukan, seperti halnya seni lukisan, patung, musik,
tari dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut masing-masing mempunyai karakteristik
yang nantinya mewujudkan sebuah bentuk atau struktur (form). Dalam proses
identifikasi sebuah struktur merupakan dasar dari pengamatan atau pemahaman
seni. Dengan memahami jalinan unsur-unsur tersebut, maka sebuah karya seni bisa
teridentifikasi maksud dan tujuannya, sehingga pemahaman estetika yang
dikandungnya bias teridentifikasi secara utuh.

 

2.    
Film
Sebagai Praktik Sosial

 

Film dimaknai dalam perspektif praktik sosial
bukan sekadar karya seni atau hiburan belaka. Dalam praktik sosial, film
dimaknai sebagai interaksi yang kompleks antara kenyataan sosial dan ideologi
kebudayaan. Praktik sosial dalam film merupakan virtual yang kuat karena
didalamnya terdapat struktur yang dibangun secara nalar dan bermotif. Sebuah
film berangkat dari alam semesta yang berisi kehidupan manusia yang
menghasilkan ide dan realitas kemudian menjadi sebuah work art yaitu
sebuah karya yang objektif. Dalam banyak penelitian tentang dampak film
terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara
linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan
muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya.

Film selalu merekam realitas yang tumbuh
berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya keatas layar.
Dalam hal ini memang film adalah sebuah realitas dalam suatu masyarakat tetapi
selanjutnya terdapat distorsi-distorsi yang dilakukan baik sutradara maupun
produser film yang bertujuan untuk menampakkan sesuatu lebih menarik bagi
penonton.

Pada dasarnya hubungan antara film dan
masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi.
Dalam film, komunikasi bisa menjadi sesuatu yang lebih mudah. Ide dari sebuah
film bisa berangkat dari alam semesta yang menghasilkan ide serta realitas yang
kemudian menjadi sebuah karya yang obyektif. Dalam banyak penelitian tentang
dampak film pada masyarakat, hubungan antar film dan masyarakat selalu dipahami
secara linier. Artinya film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat
berdasarkan muatan pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku
sebaliknya.

Film selalu merekam realitas yang tumbuh
berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikan ke dalam layar. Dalam
hal ini film merupakan suatu realitas dalam masyarakat, tetapi selanjutnya
terdapat sedikit perubahan oleh sutradara maupun produser sebuah film, agar
film yang disajikan tampak lebih menarik bagi penonton, bahwasanya film tidak
hanya sebagai refleksi masyarakat. Makna film sebagai representasi realitas
masyarakat, berbeda dengan film sebagai refleksi dari realitas. Sebagai
refleksi dari realitas, film sekedar ‘memindah’ realitas ke layar tanpa
mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film
membentuk dan ‘menghadirkan kembali’ realitas berdasarkan kode-kode,
konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya.

C.      Penutup

Dari
penjelasan singkat di atas tersebut bahwa dapat dipahami bahwa film merupakan adaptasi
dari
realitas sosial dan sebagai praktik sosial masyarakat. Film juga selalu merekam
apa saja yang dilakukan oleh masyarakat kemudian mengubahnya menjadi sebuah
karya yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Dalam hal, film akan mudah
diterima oleh masyarakat karena mereka menilai dan merasakan bahwa apa yang
mereka lihat tidak jauh beda dari praktik sosial mereka selama ini.

Wajar
jika, banyak produser film berlomba untuk memproduksi film yang selalu dekat
dengan masyarakat. Salah satu ukuran keberhasilan itu, bisa kita lihat
bagaimana film Tersanjung bertahan dengan ratusan episode. Begitu juga dengan
film Tukang Bubur Naik Haji, juga bertahan dengan ratusan episode. Artinya,
praktik sosial dalam muatan film menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat,
selebihnya film juga memberikan kesan bahwa kehidupan masyarakat menjadi hal
yang harus diperhatikan.

Daftar Pustaka

Alex Sobur, 2003, Semiotika
Komunikasi
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Irawanto, Budi. 1999. Film Ideologi dan
Militer Hegemoni Militer Dalam Sinema Indonesia
. Yogyakarta: Media
Persindo.




Irawanto,
Budi. 1999. Film Ideologi dan Militer Hegemoni Militer Dalam Sinema
Indonesia
. Yogyakarta: Media Persindo, hlm. 13.

Alex Sobur,
2003, Semiotika Komunikasi Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, hlm. 126

debu yandi | blogger kalteng | lulu

Tugas Kuliah Filmologi