Takkan pernah habis kulukis cantikmu.
Tinta dan penaku tidak akan pernah luntur bertutur.
Kubayangkan kau di bawah temaram purnama, berkilau memancarkan keanggunan.
Kubelai parasmu, kusemayamkan dalam hasil potretan terdalam wahai Gurubhis Tarabhavanam…
Meramu indah, anggun dan megahmu dalam balut kekagumanku tentangmu hai Candi Kalasan
*
![]() |
Cantik |
PANGGIL ia Dewi Tara. Pelindung dan pengayom bagi warga sekitar. Tak urung Sang Maha Raja Dyah Pancapanam Panamkarana takdzim lalu membuatkannya prasasti bertajuk Candi Kalibening.
“Raja Dyah Pancapanam itu lahir dari dinasti Sanjaya, salah satu dari dinasti raja-raja Hindu di Jawa. Tapi ia berkenan mendirikan candi persembahan bagi para biarawan Buddha,” kisah ayah suatu ketika membuka percakapan saat kami mulai menorehkan pemoles di ukiran batang akar kayu di teras belakang. Aku belum terlalu besar kala itu. Masih duduk di bangku kelas 3 SD. Namun kisah-kisahnya tentang raja-raja, candi-candi dan sejarah Jawa masa silam, masih kuingat hingga sekarang. “Lihat nak, ini adalah pelitur yang akan mempercantik bongkahan akar kayu jati yang semula diremehkan orang karena dianggap tidak punya nilai, nanti akan bersinar indah. Setelah itu akan diperebutkan orang karena harganya mahal,” ujarnya menambahkan.
|
Seperti robot Transformer yang sedang menyamar ya geshh |
Begitu pula Candi Kalibening yang sekarang kita kenal sebagai Candi Kalasan, ayah terus berkisah sembari tangannya mengaduk cat berwarna coklat keemasan itu lalu memberi contoh cara menorehkan kuasnya. Candi itu sangat megah. Ukiran reliefnya detil di berbagai sudut, yang menunjukkan tingginya peradaban mereka di zaman itu, namun banyak orang abai dan lebih menoleh pada Prambanan ataupun Borobudur.
Pahatan batu yang dirubah jadi patung juga lebih baik dibanding arca-arca di tempat lain. Yang paling menarik dan menjadikan Candi Kalasan istimewa adalah lapisan brajalepa-nya. Lapisan ini bahkan sangat sulit dibuat di masa kini.

Aku masih terlongo, kagum dengan penuturan ayah. Aku salut pula dengan penjelasannya. Ya meski waktu kami bersama bisa dibilang sangat sedikit, di tengah ritme padat pekerjaannya sebagai wartawan, ia masih menyempatkan diri mengecat akar kayu ini sembari menceritakan kisah yang luar biasa bagi ini.
Seolah tak memberi jeda, ayah kembali berkisah. Dewi Tara ini adalah puteri Dharmasetu, Raja Sriwijaya. Ia menikah dengan Samaratungga puteranya Raja Indra dari Wangsa Sanjaya. Hal ini dibuktikan dengan penemuan prasasti tak jauh dari Candi Kalasan, bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita.
“Kamupun demikian. Hormati selalu wanita terutama ibumu, jangan pernah menyepelekan ataupun melecehkan mereka. Dibalik raga yang seolah lemah, mereka adalah kekuatan kita kaum pria, mereka yang menyokong dan men-support kaum laki-laki untuk terus berkarya,” katanya lugas, kali ini sambil memegang tanganku membenarkan sapuan kuasku.
Tara-pun demikian, ia melanjutkan. Ia bukan sekedar istri yang baik yang memberi motivasi Samaratungga agar memerintah dengan adil dan bijaksana serta mensejahterakan rakyatnya, namun ia juga jadi pelindung, pengayom dan memberikan rasa aman bagi warga di sisi selatan Jawa. Candi Kalibening yang kini lebih dikenal sebagai Candi Kalasan, adalah bukti cinta warga atas jasa dan pengabdian Tara.
“Nah, kuasin juga tuh sudut dan bagian yang menjorok ke dalam. Semua bagian harus sapuan
yang sama rata agar hasilnya maksimal, jadilah penguasa yang adil meski kuasamu saat ini hanya atas akar kayu jati ini. Ayah ada liputan mendadak. Kamu selesaikan ya,” pungkas ayah bergegas mencuci tangan dan mengambil ‘peralatan perangnya’.
![]() |
Megah, cantik, anggun dan berteknologi tinggi |
**
Aku teringat kisah ayah tentangnya. Kisah yang selalu akan menyertai langkahku di masa kini. Cerita yang mengilhamiku menelusur jejak-jejak peradaban masa lalu. Tentang kejayaan, tentang arsitektur yang tak mungkin berulang kini, tentang teknologi yang sedemikian canggih, bahkan di masa mereka belum mengenal gadget.
Dering Hp di kantong menyadarkanku. Pesan ibu yang menanyakan keberadaanku, menyadarkan lamunanku. Ya, ibulah yang selalu mengkhawatir dan lebih sering bertanya dimana aku, lagi apa dan sebagainya. Kekhawatiran khas ibu-ibu, beda dengan ayah yang lebih cuek, meski aku yakin mereka menyanyangiku dengan cinta yang sama mendalam.
Bergegas aku mengambil peralatan foto, mengambil gambar di beberapa sudut seperti yang diceritakan ayah belasan tahun silam. Kucatat beberapa bagian penting Candi Kalasan, termasuk penuturan penjaga.

Tara…aku akan kembali untukmu. Bisikku…
![]() |
Batu bulan |
![]() |
Menunggu ditata |
![]() |
Melintas |