SAHNYA PERKAWINAN DI
INDONESIA
Oleh: Ds. H. Sudono, M.H.
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat
(1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Fiqih
Sunnah Juz II, hal. 37 mengungkapkan :
شروط
صحة الزواج هى الشروط التى تتوقف عليها صحته بحيث اذا وجدت يعتبر عقد الزواج
موجودا شرعا وتثبت له جميع الأحكام والحقوق المترتبة عليه –
Artinya: Syarat untuk sahnya
perkawinan adalah syarat-syarat yang menentukan sahnya apabia terpenuhi syarat tersebut maka perkawinan dianggap ada
secara syar’i dan mempunyai akibat hukum dan melahirkan berbagai hak bagi
pelakunya[3].
Pasal 5
(1)
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat.
Pertanyaannya kenapa perkawinan menjadi
sah harus dicatatkan ? dan logikanya kalau ada perkawinan tanpa dicatatkan
berarti perkawinan tersebut tidak sah, karenanya Penulis berpendapat
sebagai berikut:
a. Berdasarkan QS.al-Baqarah ayat 282 sebagai berkut :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ ۚ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar (QS.al-Baqarah ayat 282).
b. Pernikahan di masa Rasulullah SAW.
Orang yang
bertemu dan bersahabat dengan Beliau disebut masa sahabat dan orang telah taat
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya mereka
dajamin kejujurannya, para sahabat jika mempunyai masalah dapat langsung
menghadap dan bertanya kepada Beliau sehingga urusan dapat selesai.
Selanjutnya di
masa sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, mereka tingkat kehebatan dan kejujurannya juga masih bisa diandalkan,
mereka saling menghargai pendapat mereka masih saling percaya dan tidak
memerlukan bukti-bukti tertulis layaknya masa sekarang ini.
Pada tingkatan
berikutnya adalah para Ulama karena mereka adalah warasatul anbiya’ sehingga
lahirlah ulama ahli fiqih, ahli tafsir, ahli hadis, dari berbagai negara
dengan membawa ciri khasnya masing-masing sesuai keahliannya dan mereka berkarya
besar dalam bidang fiqih, tafsir , hadis dan sebagainya, orang-orang tersebut
hebat dan masih dapat diandalkan tingkat kejujurannya. Karena itu
terutama kitab-kitab fiqih banyak menjelaskan dan menerangkan bahwa untuk
sahnya perkawinan mereka sepakat harus ada calon mempelai laki-laki, calon
mempelai perempuan, wali nikah, ijab qabul, dan dua orang saksi, dan itu sudah cukup dan sah, itu
saja kan ?, apakah pendapat yang
demikian dapat dipertahankan sampai
sekarang ?, apakah mereka pelaku-pelaku pernikahan
bawah tangan dapat diandalkan tingkat kejujurannya ?, apakah hanya menuruti nafsu belaka dengan
membenarkan pendapat dalam kitab-kitab kuning masih dipertahankan dengan resiko
banyak kemadorotannya bagi wanita / perempuan dari pada maslahahnya ?.
c. Wajib Mengumumkan Pernikahan
Hadis dari Ahmad bin Abdullah bin Zubair –radhiyallahu’anha-,
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, أعلنوا النكاح “Umumkanlah pernikahan…”
Perintah pada hadis ini, oleh Mayoritas ulama (jumhur) dipahami wajib. Bahkan
bila kita renungi, mengumumkan pernikahan masuk dalam syarat sah pernikahan.
Karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل “Tidaklah sah pernikahan tanpa izin wali (perempuan),
dan kehadiran dua saksi yang adil.” (HR. Baihaqi) Hadirnya dua saksi,
diantara tujuan pokoknya adalah, agar kabar pernikahan tersebar. Oleh
karenanya, tidak boleh bagi pengantin, walinya atau siapapun, melarang para
saksi mengabarkan pernikahan.
Syekh Muhammad bin
Mukhtar As-Syinqiti –hafidzahullah– (anggota ulama senior Kerajaan Saudi
Arabia, pengajar di masjid Nabawi)[4]
menegaskan,
لم يجز أن يستكتم الشهود الخبر، فلا
يجوز لأحد أن يقول لشهود النكاح: لا تخبروا أحداً
Artinya : Para saksi tidak boleh menyembunyikan kabar
pernikahan. Maka tidak boleh seorangpun berpesan kepada para saksi, “Tolong
jangan kabarkan siapa-siapa.” Bahkan Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu,
jika dilaporkan ada pernikahan dilakukan sembunyi-sembunyi, beliau akan
jatuhkan hukuman cambuk untuk wali dan para saksi. Karena seperti itu menyalahi
syariat Allah yang memerintahkan mengumumkan nikah.
Berdasarkan
beberapa pendapat para sahabat Nabi tersebut penulis berpendapat,
mengumumkan nikah hukumnya wajib, karena itu nikah yang dirahasiakan (nikah
sirri, nikah bawah tangan, secara sembunyi-sembunyi atau biar tidak diketahui
oleh istri pertamanya (poligami liar ) tidak
sah. Sedangkan semakin menyebarkan kabar pernikahan lebih luas,
hukumnya sunnah. Hal ini bertujuan agar: [1] Menjaga kesucian nasab, [2]
Membedakan antara pernikahan dengan perzinahan, [3] Menjaga hak-hak
pengantin, [4] Tidak muncul prasangka
buruk di tengah masyarakat, disebabkan seorang sudah serumah dengan pasangannya
dalam ikatan pernikahan, disebabkan mereka tidak mengumumkan
pernikahannya kepada masyarakat.
Lebih lanjut, Nabi shallallahu’alaihi wasallam
memerintahkan mengadakan acara walimah. Agar orang-orang banyak berkumpul dan
mengetahui kabar pernikahan. Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda
, أولم ولو بشاة ‘ Laksanakanlah
walimah walau dengan seekor kambing. (HR. Bukhari).
Syekh Abdul Aziz
bin Baz rahimahullah menerangkan :
الواجب إعلان النكاح، حتى يعلم الناس
أن فلان تزوج، وفلانة تزوجت؛ لأن عدم الإعلان يجعله كالزنا،
Artinya: Mengumumkan
nikah hukumnya wajib. Agar masyarakat tahu bahwa si fulan sudah menikah. Karena
menyembunyikan pernikahan, menjadikannya seperti zina[5].
Ibnu Qudamah mengatakan[6],
فإن عقده بولي
وشاهدين فأسروه أو تواصوا بكتمانه كره ذلك وصح النكاح وبه يقول أبو حنيفة والشافعي
وابن المنذر، وممن كره نكاح السر عمرـ رضي الله عنه ـ وعروة وعبيد الله بن عبد
الله بن عتبة، والشعبي ونافع ـ مولى ابن عمرـ
Artinya: Jika ada orang melakukan
akad nikah, ada wali dan dua saksi, lalu mereka merahasiakannya atau sepakat
untuk merahasiakannya, maka hukumnya makruh, meskipun nikahnya sah. Ini
merupakan pendapat Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ibnul Mundzir. Diantara sahabat
yang membenci nikah siri adalah Umar radhiyallahu ‘anhu, Urwah, Ubaidullah bin
Abdillah bin Utbah, as-Sya’bi, dan Nafi. (al-Mughi, 7/428)
Setelah Ibnu Qudamah menyebutkan pendapat di atas, beliau
mengatakan:
وقال أبو بكرعبد العزيز النكاح باطل، لأن أحمد قال: إذا تزوج
بولي
وشاهدين: لا، حتى يعلنه، وهذا مذهب مالك
Artinya: Sementara
Abu Bakr Abdul Aziz, mengatakan, nikahnya batal. Ada riwayat dari Imam Ahmad,
beliau ditanya, “Jika orang menikah, apakah cukup dengan wali dan dua saksi?”
jawab beliau, “Belum cukup, sampai diumumkan.” Dan ini pendapat Imam Malik.
(al-Mughi, 7/428).
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan[7],
وإن اتفق الجميع على كتمه فهو باطل عند بعض أهل العلم
كالمالكية ومن وافقهم
Artinya: Jika
semua yang terlibat dalam akad nikah sepakat untuk merahasiakan nikah, maka
statusnya batal menurut sebagian ulama, seperti Malikiyah dan yang sepemahaman
dengan mereka. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 127689).
Berdasarkan
pendapat kedua ulama tafsir tersebut
diatas penuliis dapat menyimpulkan bahwa untuk urusan utang-piutang sekecil
apapun perlu diharuskan ada bukti pencatatan (nota-kwitansi-surat –surat
perjanjian-SIM-STNK-BPKB-akta jual beli- dan lain sebagainya) apalagi sebuah
peristiwa hukum pernikahan sebagai bentuk perjanjian yang sangat kuat “mitsaqan
ghaliidzan”, karenanya pencatatan perkawinan oleh pejabat pembuat AKTA NIKAH
hukumnya menjadi wajib sebagai unsur sahnya perkawinan di Indonesia.
Bahwa
untuk menjelaskan tentang keharusan pencatatan perkawinan dalam tafsir
al-Maraghi dijelaskan seagai berikut:
البينة فى الشرعى أعم من الشهادة فكل ما يتبين به الحق كالقراءن اليقينة يسمى بينة
Artinya: Pengertian
bayyinah dalam pandangan syara’ lebih umum dari kesaksian, karena sesuatu yang
dapat mengungkap kebenaran seperti qarinah yang menyakinkan itu adalah bayyinah[8]
(Tafsir al-Maraghi, Juz III, hal. 74).
Qaidah Fiqih juga
meyatakan :
ما لايتم الواجب الا به فهو واجب
Artinya: Suatu kewajiban tidak akan sempurna,
kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib[9].
Bahwa pernikahan adalah sesuatu perbuatan hukum yang sakral, hidmad,
menimbukan hak dan kewajiban bagi kedua
pihak (suami istri), karena ini
merupakan hukum syariat kullî. Untuk membeli sesuatu yang nilainya
kecil saja pakai tanda bukti berupa kwitannsi, harus ada STNK, BPKB, Sertifikat
tanah dan lain sebagainya, apalagi perbuatan hukum berupa transaksi wali nikah
dengan calon mempelai laki-laki, ijab dan qabul, dua orang saksi laki-laki dan
dicatat dalam bentuk bukti autentik berupa AKTA NIKAH yang telah dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang ( di KUA bagi yang beragama slam, dan Kantor
Penncatatan Sipil bagi yang beragama non muslim) tentu peristiwa pernikahan
yang demikian mendapat perlindungan hukum dari negara berupa AKTA NIKAH. Berdasarkan
kaidah diatas maka untuk perkawinan yang dilangsungkan tanpa melibatkan
pencatatannya maka peristiwa hukum tersebut dianggap tidak pernah ada atau
boleh disebut sebagai perkawinan yang
tidak sah. Dengan demikian kaidah Mâ
lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib disebut
sebagai hukum syariat karena kaidah ini digali dari dalil-dalil syari’at, baik
al-Quran maupun as-Sunnah, melalui dalâlah iltizâm yang
terdapat di dalamnya.
Dalam kitab al-Ahwal al-Syakhsiyah, hal. 59
Dan sungguh Rasulllah SAW menyatakan : umumkan adanya pernikahan walaupun dengan
manabuh bedug.
وقال ابو بكر الصد يق لا يجوز نكاح السر حتى يعلن
ويشهد عليه –
Artinya : Abu Bakar as-Shiddiq berkata : nikah sirri itu tidak dibenarkan,
semua pernikahan harus diumumkan dan harus dipersaksikan[10].
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1),
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo
Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
al-Fiqhul Islami Wa
Adillatuhu, Juz VIII, hal. 128:
ومن القا
عدة الشرعية وهى أن الولي الأمر ان يأمر بالمباح بما يراه من المصلحة العامة ومن
أمر به وجبت طا عته –
Artinya : sebagian dari
kaidah syar’iyah bahwa pemerintah
berwenang memerintahkan
sesuatu yang mubah (hukum
asalnya) yang menurut pertimbangannya mengandung kemaslahatan umum, dan dengan
diperintahkannya (rakyat) wajib melaksanakannya[11].
Yang dimaksud nikah sirri dalam tulisan ini menurut penulis adalah pernikahan antara
seorang pria dan seorang wanita yang seharusnya dilakukan menurut undang-undang
akan tetapi mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak
dicatatkan di KUA. Selain seharusnya dilakukan menurut ketentuan hukum Islam,
juga seharusnya perkawinan tersebut dicatatkan, agar keberadaannya dilindungi
oleh hukum negara dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (
pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor
1 ahun 1974 tentang perkawinan.
Bila ditelisik, terdapat beberapa faktor yang mendasari masyarakat
melakukan pernikahan sirri yaitu faktor ekonomi, belum cukup umur, ikatan
dinas/kerja atau sekolah, dari pada hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas,
kurangnya pemahaman dan kesadaran pentingnya pencatatan pernikahan,
faktor-faktor sosial juga karena ketatnya aturan poligami.
Dari seluruh faktor yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri ada faktor
lain yang berfungsi sebagai argumentasi teologis, yaitu adanya pemahaman
sebagian masyarakat bahwa persoalan pernikahan adalah persoalan pengamalan
ajaran agama, disertai anggapan yang penting dalam pernikahan yang
dilangsungkan, syarat dan rukunnya terpenuhi. Pembaca mesti faham di kalangan
sebagian umat Islam Indonesia sangat kuat tradisi pemikiran fiqh klasik (fiqh
oriented). Tak sedikit masyarkat memandang fiqh identik dengan hukum Islam dan
hukum Islam identik dengan aturan Allah . Dengan cara pandang yang demikian,
maka kitab-kitab fiqh dianggap sebagai kumpulan-kumpulan hukum Allah. Padahal
kitab-kitab fiqh adalah sebagai produk pemikiran keagamaan[12].
Pandangan diatas membawa implikasi pemahaman, bahwa selain dari bentuk fiqh
dianggap tidak inklusif merefleksikan ajaran Islam seperti bentuk undang-undang
(qanun), putusan peradilan Islam atau kompilasi, maka konsekwensinya adalah
jika teks-teks ajaran Islam dituangkan tidak dalam bentuk fiqh, tetapi
berbentuk pasal-pasal perundang-undangan, maka cenderung dipandang sebagai
sesuatu yang terpisah dari agama. Dalam konteks seperti pencatatan perkawinan
yang diformulasikan dalam bentuk pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, dipandang bukanlah bagian agama, efeknya masyarakat berpikir bahwa pernikahan
sirri sudah sah menurut agama dan pencatatan hanya masalah administrasi saja. Pemahaman
agama seperti ini telah menjadi “stempel” akan kebenaran dan keabsahan nikah
sirri.
Padahal sesungguhnya tujuan dituntutnkannya hukum Islam ( maqoshidut tasyri’)
adalah untuk ketertiban dan keharmonisan. Setidaknya di era ini, pencatatan
perkawinan dapat menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan
rukun dan syarat perkawinan baik menurut hukum, kepercayaannya dan menurut
Undang-Undang. Pencatatan perkawinan adalah sebagai bukti hukum, dimana suatu
perkawinan dianggap ada dan diakui sebagai suatu perkawinan, dengan terbitnya
akta nikah. Dengan pencatatan perkawinan suami isteri mendapatkan perlindungan
hukum, memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan.
Sebaliknya pernikahan sirri adalah perkawinan yang tidak memiliki kekuatan
hukum yang berdampak yuridis terhadap hak-hak pelayanan publik oleh instansi
yang berwenang bagi pelakunya. Mereka tidak memperoleh perlindungan dan
pelayanan hukum oleh instansi yang berwenang sebagaimana mestinya. Perkawinan
mereka tidak diakui dalam daftar kependudukan, bagi anak-anak mereka tidak
dapat memperoleh akte kelahiran dan seterusnya. Dengan kata lain, pernikahan
sirri banyak membawa madharat dalam kehidupan bermasyarakat. Sisi negative ini
banyak dialami wanita (istri) dan anak-anak tatkala suami tidak bertanggung
jawab. Sedangkan mencatatkan perkawinan lebih banyak mendatangkan manfaat bagi
masyarakat Pencatatan perkawinan mengandung pengakuan, perlindungan,
ketertiban, kepastian dan kemanfaatan hukum.
Pasal 6
(1)
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah.
ولا تترتب أحكامها ولا يظللها بحمايته بمجرالتراضى عليها بل
يشترط شروطا أخرى لترتيب الأحكام وحمايتها
وتنفيذها كالرسمية فى بعض الهبات –
Artinya: Perkawinan tidak
berakibat hukum dan tidak dilindungi apabila dlaksanakan hanya semata-mata suka
sama suka, untuk itu disyaratkan
persyaratan lainnya seperti disyaratkannya pencatatan perkawinan tersebut,
sebagaimana berlaku dalam hibah ada akta hibahnya[13] (al-Ahwal al-Syakhsiyah,
hal. 57).
(2)
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
لا يجوز سماع الدعوى من احد
الزوجين او غيره الا اذا كانت ثابتة
بأورق رسمية –
Artinya :
Gugatan yang terkait perkawinan suami istri atau dari yang lainnya tidak
diterima kecuali apabila ada (menunjukkan) akta nikahnya[14](
Fiqih Sunnah, Juz II, hal. 59).
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
Kaidah fiqhiyyah
menyatakan:
البينة حجة متعدية والاقرار
حجة قاصرة
Artinya: Bayyinah adalah hujjah yang prospektif sedangkan ikrar adalah
hujjah yang terbatas.
الكتاب كالخطاب
Artinya :
Tulisan itu sama dengan ucapan (kaidah Fiqhiyyah).
Demikian, tulisan ini semoga banyak manfaatnya amiin, terimakasih.
Blitar, 02 Juni 2021